Jakarta, CNN Indonesia — Pengusaha ritel dan mal merasa dihambat pemerintah dalam berbisnis. Pasalnya, pengurusan izin impor legal sangat sulit.
“Contoh di Hippindo ini adalah modern trade, bukan general trade. Sudah rapi, bayar pajak, tokonya jelas, karyawannya juga sudah kami didik dengan baik dan benar. Namun, pada saat pengurusan perizinan, baik untuk impor legal, itu sangat sulit mendapatkan produk-produk impor, terutama teman-teman di sektor brand luar negeri,” jelas Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah dalam Konferensi Pers di Rodenstock Building, Jakarta Barat, Selasa (16/1).
“Teman-teman di Hippindo juga ada yang mempunyai pabrik, jadi angka pengenal impor produsen (API-P) nya juga agak kesulitan untuk mendapatkan barang. Mintanya 100, dikasihnya 10, sehingga toko-toko kami kosong dan tidak bisa buka toko baru,” sambungnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja merasa dibayangi dengan ancaman keberlangsungan industri usaha ritel pada 2024.
Alphonsus mengkritisi langkah pemerintah membatasi produk impor yang menurutnya kurang tepat. Ia menilai negara seharusnya memberikan insentif untuk produk-produk dalam negeri agar bisa berkembang.
“Kami khawatir dampak pembatasan impor akan mengena langsung ke merek-merek global yang punya toko di Indonesia yang sudah jelas perusahaannya, proses impor jelas, bayar pajak jelas semua, justru ini akan terhambat dan tidak berkembang,” khawatirnya.
Menurut Alphonsus, ritel khususnya fesyen sangat identik dengan gaya hidup. Saat ini, dunia sudah semakin terbuka sehingga impor tidak bisa dibendung.
“Ritel, khususnya bicara fashion, ini sangat identik dengan gaya hidup, di mana dunia ini sudah sedemikian terbuka sehingga tidak bisa dibendung dan dicegah dengan berbagai ketentuan. Kecuali kalau negara kita tertutup seperti Korea Utara, tapi kan kita tidak seperti itu,” ujarnya.
Selain itu, APPBI mengeluhkan perbedaan perlakuan antara pusat perbelanjaan yang punya toko fisik dengan online shop. Meski begitu, Alphonsus menegaskan pihaknya tidak ciut.
Alphonsus menyebut pemerintah harus lebih fokus memberangus barang-barang ilegal yang menjamur di toko-toko online.
“Online sama offline sampai dengan sekarang perlakuannya juga masih belum sama, seimbang, dan adil. Pemerintah, barang-barang online itu banyak barang ilegal yang bebas dari pajak, perizinan, dan sebagainya,” tutur Alphonsus.
“Tetapi sebetulnya kekhawatiran itu bisa diatasi. Kami offline tidak takut dengan online sebetulnya, sepanjang di medan perang yang sama. Tetapi kalau medan perangnya beda, itu jadi masalah,” imbuhnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang hadir secara virtual menerima keluhan dari Hippindo dan pengusaha lainnya itu. Ia akan mempelajari pengembangan sektor di negara lain untuk menjadi benchmark kebijakan di tanah air.
“Untuk menjaga agar bisnis ritel tumbuh, pemerintah terus melakukan penyempurnaan regulasi terkait kemudahan impor, walaupun saya mendengar ada keluhan dari Hippindo. Juga terkait perizinan berusaha, kita akan terus memudahkan implementasi pembukaan-pembukaan ritel,” jelas Airlangga dalam sambutannya.
Airlangga memahami sektor ritel offline mendapatkan persaingan yang cukup ketat dari sektor online. Artinya, ritel offline harus punya daya saing dibandingkan online dengan melihat kebutuhan dari konsumen.
“Kalau daya saing hanya ditunjang regulasi, itu juga tidak akan bertahan lama,” ujar Airlangga.
Source: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240116163807-92-1050284/pengusaha-ritel-dan-mal-merasa-dihambat-pemerintah-dalam-berbisnis