Liputan6.com, Jakarta – Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) meminta pemerintah menunda penerapan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen 2025. Pengusaha ritel meminta pemerintah lebih berupaya mengerek daya beli masyarakat.
Dikehtahui, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Ketentuan itu mengatur besaran PPN naik jadi 12 persen pada 2025.
Ketua Umum Hippindo, Budihardjo Iduansjah meminta ketentuan itu ditunda hingga 2026, sehingga masih ada waktu sekitar 1 tahun. Ini jadi salah satu opsi yang ditawarkan pelaku usaha.
“Kondisi saat ini kan kita mau perkuat perdagangan dalam negeri, ya intinya kalau memang PPN di naikkan, kami harapkan dikembalikan, artinya ada dua (pilihan), kalau bisa gak dinaikkan kasih waktu tahun depan lagi,” ungkap Budihardjo, disela-sela Indinesia Retail Summit 2024, di Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta, Rabu (28/8/2024).
Kendati begitu, dia menyadari pemerintah tidak bisa melanggar ketetapan Undang-Undang. Selain sarannya untuk menunda penerapannya, Budi meminta ada upaya pemerintah untuk mengembalikan pungutan pajak itu ke sektor ritel.
Daya Beli
Caranya, bisa dilakukan melalui peningkatan daya beli masyarakat. Cara ini bisa dijalankan dengan stimulasi dari pemerintah ke masyarakat. Pada akhirnya, perputaran uang hasil pungutan pajak itu bisa kembali meningkatkan pendapatan pengusaha ritel.
“Kalau gak bisa (ditunda) ada program, itu kan tambahan (jadi) 12 persen, bisa dikembalikan ke meningkatkan daya beli. Jadi bisa dikembalikan berupa satu program, yang tadi pak Menko itu bagus, misalnya program kesehatan, atau program ke rakyat bawah untuk stimulus ekonomi dari uang tambahan (pajak) itu, sehingga uangnya itu naik lagi ke atas, dalam arti ini dibelanjakan di Indonesia,” bebernya
Perlu dicatat, pada 2022 lalu, pemerintah memberlakukan tarif PPN sebesar 11 persen. Kemudian, rencananya naik jadi 12 persen di 2025 mendatang. Dengan kenaikan 1 persen ini, Budi menilai tidak ada dampak langsung ke pendapatan. Hanya saja, dia menyoroti pada dampak jangka menengah dan jangka panjang nantinya.
“Memukul langsung enggak, tapi kalau tidak ada stimulus dikembalikan, secara jangka menengah akan membuat daya siang kita akan berkurang,” jelasnya.
Budihardjo menerangkan, pemerintah seharusnya bisa menambah upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan demikian, angka kontribusi pajak dari pelaku usaha akan ikut meningkat.
Dia menghitung, kenaikan omzet dari pengusaha ritel akan menambah setoran pajak yang diberikan. Misalnya, dengan keuntungan Rp 10 juta dan pajak sebesar 10 persen, maka pengusaha menyetor sebesar Rp 1 juta ke kas negara.
Jika daya beli meningkat, dan omzet peritel juga naik ke Rp 20 juta, maka setoran pajak dengan tarif yang sama menjadi sebesar Rp 2 juta.
“Mending kita bayar pajaknya contoh, kalau omzetnya Rp 10 juta, lalu dinaikkin Rp 20 juta, pajaknya kan lebih gede, jadi yang saya maksud (kampanye) Belanja di Indonesja Aja itu daripada naikin PPN mendingan naikin omzet,” tuturnya.
“Omzetnya kalau naik otomatis pajaknya lebih gede, itung aja sendiri, pasti lebih gede. Kalau omzetnya naik itu, yang tadinya Rp 10 juta cuma bayar Rp 1 juta, (pendapatan) Rp 20 juta bayar (pajak) Rp 2 juta. Kalau naikin PPN cuma Rp 1,2 juta (dengan tarif PPN 12 Persen),” sambung Budihardjo.